Selasa, 27 Januari 2015

dibalik ujian hidup

pernah melihat tanah liat yang mau di bentuk guci, genteng, bata, atau di bentuk barang yg berharga? tanah itu akan di banting-banting, di keplek-keplekkan, di injak-injak, di campur air, di unyel-unyel, di remet-remet, seakan-akan orang yang mau menjadikan tanah liat itu jadi sesuatu dia begitu bencinya pada tanah liat itu, tak cuma itu, setelah menjadi bentuk tertentu misal mau di jadikan guci, masih di conteng sana sini pakai pewarna, dan kemudian di oven, di bakar, jika tanah itu bisa bicara dia akan mengatakan, kamu itu kok ya kejam benar, saya salah apa? sampai sebegitu bencinya kamu padaku?
padahal apa yang di lakukan oleh yang membentuk guci itu, dia ingin tanah itu ada nilainya, bisa di jual, dan bisa di hargai oleh orang lain, menjadi guci yang antik, yang di pajang, di kagumi siapa saja yang melihatnya, bahkan orang lain rela menjaga dan melindungi guci itu dengan ikhlas, agar jangan sampai guci pecah.

begitulah kita di bentuk Allah, kalau ingin jadi barang berharga, di keplek-keplekno, di injak-injak sampai derajat terendah, di remet-remet, di bakar, sudah yang ridho saja sebagaimana ridhonya tanah di bentuk menjadi guci, coba kalau tanah itu kabur dan menghindar dari pembentukan menjadi guci? lari menghindar, maka pembentukan amalah akan lebih lama, dan menjadi barang yang berguna dan di hargai banyak orang akan jauh dari harapan.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda