Rabu, 21 Januari 2015

bahaya berguru pada makhluk gaib

Seseorang dimungkinkan belajar kepada jin yang soleh atau belajar dari setan (jin kafir/munafik) dari alam jin atau belajar dari manusia soleh yang telah wafat dari alam barzah yang tinggi (illiyyin).
Tetapi berguru kepada makhluk dari alam batiniyah ini sangat tinggi risikonya, karena rekayasa setan sangatlah canggih. Sebagian besar manusia yang belajar kepada guru dari alam batiniyah ini tertipu oleh setan, walaupun dia menyangka bahwa dia telah berguru kepada wali Alloh.
Hanya dengan ridlo Alloh dan dengan bimbingan Nabi SAW dan para wali Alloh, seorang murid yang belajar kepada guru dari alam batiniyah bisa mencapai jalan yang lurus dan tidak sesat.
Murid yang telah dan terus belajar kepada guru dari alam batiniyah dan telah mencapai jalan yang lurus akan terus diganggu dan berperang dengan para setan. karena penembusan ke alam lain itu akan banyak mendapat banyak manfaat yang tak terhingga, sehingga setan atau iblis sangat benci dan akan berusaha untuk mencegah, dan lebih di upayakan menggagalkannya dari keberhasilan, makanya meskipun belajar ke alam lain misal alam ruh alam malakut itu penting adanya guru mursyid yang kamil dan benar membimbing secara alam jasmani tetap di perlukan, karena bahayanya belajar langsung ke alam lain, dan tipuannya lebih banyak.

“Barang siapa yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa menyerupai diriku.” (Hadis).
“Alangkah miskinnya seorang murid jika gurunya hanya orang-orang hidup atau manusia biasa”.
Suatu saat Imam al-Gazali ditanya muridnya perihal banyaknya hadis ahad atau hadis tak populer yang dikutip dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum al-Din. Lalu, al-Ghazali menjawab, dirinya tak pernah mencantumkan sebuah hadis dalam Ihya’ tanpa mengonfirmasikan kebenarannya kepada Rasulullah.
Jika ada lebih dari 200 hadis dikutip di dalam kitab itu, berarti lebih 200 kali Imam al-Gazali berjumpa dengan Rasulullah. Padahal, Imam al-Ghazali hidup pada 450 H/1058 M hingga 505 H/1111 M, sedangkan Rasulullah wafat tahun 632 M. Berarti, masa hidup antara keduanya terpaut lima abad.
Kitab Ihya’ yang terdiri atas empat jilid itu ditulis di menara Masjid Damaskus, Suriah, yang sunyi dari hiruk pikuk manusia.
Pengalaman lain,
Ibnu ‘Arabi juga pernah ditanya muridnya tentang kitabnya, Fushush al-Hikam. Setiap kali sang murid membaca pasal yang sama dalam kitab itu selalu saja ada inspirasi baru.
Menurutnya, kitab Fushuh bagaikan mata air yang tidak pernah kering. Ibnu ‘Arabi menjawab, kitab itu termasuk judulnya dari Rasulullah yang diberikan melalui mimpi. Dalam mimpi itu, Rasulullah mengatakan, “Khudz hadzal kitab, Fushuh al-Hikam (ambil kitab ini, judulnya Fushush al-Hikam).”
Kitab Jami’ Karamat al-Auliya’ karangan Syekh Yusuf bin Isma’il al-Nabhani, sebanyak dua jilid, mengulas sekitar 625 tokoh/ulama yang memiliki karamah, yaitu pengalaman luar biasa mulai dari sahabat nabi hingga tokoh abad ke-19.
Sayang, di dalamnya tidak dimasukkan sejumlah orang yang dapat dikategorikan sebagai wali yang berasal dari Indonesia. Seperti beberapa ulama yang tergabung di dalam Wali Songo. Dalam kitab ini, subhanallah, ternyata pengalaman batin dan spiritual hamba Allah SWT berbeda-beda.
Umumnya mereka sudah berada di atas maqam yang lebih tinggi atau di atas rata-rata. Ternyata alam gaib bagi setiap orang tidak sama. Ada yang masih tebal (hijab/tabirnya) dan ada yang sudah transparan (mukasyafah). Bagi mereka yang sudah berada di tingkat mukasyafah, sudah bisa berkomunikasi lintas alam.

kalau sepengalaman saya, soal hadist sabda rosululloh saw : “Barang siapa yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa menyerupai diriku.” (Hadis).
itu maksud hadist begini , saya akan bercerita ketika imam ja'far shodiq RA berbicara padaku, suatu kali saya ingin bertanya soal pertemuan dengan rosululloh saw yang saya alami, maka saat itu saya bertemu dengan sahabat abu bakar assidiq RA, saya bertanya pada beliau, dengan pertemuanku dengan rosululloh saw, lalu beliau menyaranku bertanya pada imam ja'far shodiq RA, lalu saya bertanya pada imam Ja'far shodiq RA. beliau menjelaskan, maksud hadist itu begini, : jadi rosululloh saw itu tidak pernah bertemu dengan orang yang tidak kedudukannya tinggi, maksudnya tidak bertemu secara ruh idhofi beliau, tak ada yang kuat berhadapan dengan kemulyaan ruh idhofi rosululloh., hanya orang tertentu saja yang di kehendaki bertemu dengan ruh idhofi rosululloh saw salah satunya dirimu."
lalu saya bertanya, " lalu bagaimana dengan para wali qutub, apa mereka itu tidak di temui rosululloh saw?"
" mereka di temui rosululloh, tapi di temui oleh ruh biasa, bukan ruh asli rosululloh saw, tingkatan ruh itu kan ada 9, dan ruh paling tinggi itu ruh idhofi, kedudukan rosululloh saw di langit itu sangat tinggi, jika orang itu di temui rosululloh saw harus sudah melewati kedudukan derajad langit 70, saya sendiri saja tidak melewati derajad itu juga syaikh abdul qodir jailani RA, bagaimana dengan orang biasa, kamu tau kan kisah malaikat jibril AS ketika mengantar nabi saw mi'roj ?" jawab imam ja'far assadiq RA.
" ya, lalu bagaimana maksud hadist tentang “Barang siapa yang bermimpi melihatku, maka dia melihatku karena setan tidak akan bisa menyerupai diriku.” (Hadis).
" maksud hadist itu, sekalipun rosululloh saw itu tidak menemui tapi rosululloh saw memerintah malaikat untuk menyerupai beliau, jadi bukan jin atau setan, tapi ini menyerupai, bukan mengakui, kalau mengakui siapa saja bisa mengaku sebagai rosululloh saw "

jadi belajar dari alam lain, alam malaikat dan alam ruh juga alam gaib rendah seperti pada jin atau setan itu bisa terjadi pada siapa saja, makanya kita yang menempuh jalan itu harus berhati-hati sebaiknya ada guru mursyid yang mengarahkan agar tidak di sesatkan oleh setan.

Di dalam sebuah hadis disebutkan, “Seandainya bukan karena dosa yang menutupi kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan malaikat di langit.” *)(HR Ahmad dari Abi Hurairah).
Ulama yg lain menterjemahkan “Seandainya bukan karena dosa dan setan yang menutupi kalbu Bani Adam, niscaya mereka menyaksikan alam malakut.
Sebaliknya, penghuni makhluk cerdas alam lain, yang diistilahkan dalam Alquran man fi al-sama’, juga bisa menyaksikan hamba-hamba kekasih Tuhan di bumi sebagaimana dinyatakan Rasulullah, “Sesungguhnya para penghuni langit mengenal penghuni bumi yang selalu mengingat dan berzikir kepada Allah bagaikan bintang yang bersinar di langit.”
Dalam Alquran dinyatakan dalam ayat, “Untuk mereka kabar gembira waktu mereka hidup di dunia dan di akhirat.” (QS Yunus/10:64). Para ulama tafsir mengomentari ayat ini sesuai dengan pengalaman sahabat Nabi Muhammad, Abu Darda’, yang menanyakan apa maksud ayat ini.
Rasulullah menjelaskan, “Yang dimaksud ayat ini ialah mimpi baik yang dilihat atau diperlihatkan Allah SWT kepadanya.” Dalam ayat lain lebih jelas lagi Allah berfirman, “Allah memegang jiwa (orang) ketika matinya dan (memegang) jiwa (orang) yang belum mati di waktu tidurnya.” (QS al-Zumar/39:42).
Dalam kita-kitab tafsir Isyari, ayat ini mendapatkan komentar panjang bahwa di waktu tidur orang bisa mendapatkan banyak pencerahan. Bahkan, dalam Alquran juga menunjukkan kepada kita sejumlah syariat dibangun di atas mimpi (al-manam), seperti perintah ibadah kurban (QS al-Shafat/37:102).

Kehati-hatian lain ialah jangan sampai bisikan setan dianggap bisikan suci dari penghuni alam lain. Oleh karena itu, Imam al-Gazali pernah mewanti-wanti, jika ada orang menjalani suluk tanpa syekh atau mursyid, dikhawatirkan setan yang akan membimbingnya. Syekh mursyid ini adalah Syekh/guru yang mempunyai mata rantai silsilah keguruan yang tidak terputus , yang sampai kepada Nabi Muhammad SAW. Dan dia diridloi oleh Nabi SAW.

Label: ,

0 Komentar:

Posting Komentar

Berlangganan Posting Komentar [Atom]

<< Beranda